Susahnya memahami tanda orang Yogyakarta
Oleh : Muhd. Arief Al Husaini
Salah satu aspek manusia dalam bentuk kota adalah penggunaan ruang. Adanya hubungan manusia antara ruang yang terbangun (built) dan ruang tidak terbangun (unbuilt). Setiap manusia memiliki kebiasaan dan cara tersendiri dalam mensikapi ruang tersebut. Saat ini saya akan membahas sikap dalam penggunaan ruang kota dalam kotnteks yang luas. Umumnya dalam transportasi ada titik berangkat dan arah (direction). Dalam space syntax hal ini akan menunjukkan bagaimana konfigurasi ruang terjalin. Pada space syntax dapat diketahui bagaimana sebuah kota memiliki tingkat kedalaman atau kedangkalan sebuah ruang ditinjau dari adanya step depht (tahapan) yang rendah dalam mencapai titik tujuan.
Kota Yogyakarta menawarkan banyak alternatif jalan yang ditempuh dalam mencapai tujuan. Hal ini dikarenakan setiap jalan di jogja memiliki konektivitas yang baik (bisa diliat melalui space syntax). Contoh Jika Kita ingin menuju Amborukmo Plaza kita bisa melalui beberapa alternatif jalan ; 1. melalui Ring road ke Adi Sucipto, 2. dari jalan sosrowajan ke jalan Nogogini ke jalan Nogopuro, 3. masih banyak jalan lainnya. Artinya semakin banyak alternatif maka akan semakin banyak informasi bila kita nyasar di Yogyakarta.
Yogyakarta yang terbuka bagi pendatang baik dalam rangka wisata maupun pelajar. Umumnya pendatang luar jawa akan mengalami permasalahan yang sama selama di Yogyakarta. Pengalaman saya selama studi 4 tahun di Yogyakarta masih saja mengalami kendala ini. Apa itu ? adalah susahnya pemahaman tanda yang diberikan oleh orang asli Yogya ketika hendak menanyakan arah atau sebuah alamat. kebiasaan disini, ketika menanyakan arah selalu menggunakan arah mata angin utara, selatan, timur, barat. hal berbeda dengan kebiasaan orang luar Yogyakarta lebih menggunkan Kiri, Kanan, atas, bawah. Arah mata angin sudah menjadi kebiasaan bagi mereka dengan paling mudah dengan menandai gunung merapi sebagai titik awal karena ini adalah arah pasti dari Utara, serta arah pantai yang mewakili selatan, selebihnya menyesuaikan.
Contoh hendak menanyakan ke malioboro mereka akan memberikan arahan sebagai berikut dari ring road ke Selatan (ugm) terus sampai pertigaan McD ke Barat sampai prapatan Tugu terus ke selatan sampai Stasiun Tugu nanti timur sampe bangjo ke selatan sampai bangjo lagi ke selatan lurus bundaran sarkem ke barat. sampai. Hal tersebut ibarat teka-teki bagi orang Sumatra. Saya umumunya bertanya sampai 2-3 kali pada tempat yang dijumpai karena akan sulit jika hanya bertanya cuma sekali. Ajaib..
Ancer-ancer orang Yogya pun tidak akan menggunakan jalan, semisal jalan c. simanjuntak mereka akan lebih tau dengan McD atau Pom Bensin. artinya mereka lebih mudah mengenali sesuatu yang berbentuk misalnya bangunan, monumen, dll.
Kita kaitkan kembali dengan teori perkotaan. Yogyakarta adalah salah satu kota yang muncul adalah sebagai Kota pedalaman dalam disertasi Sandi Siregar. kota pedalaman dicirikan pusat kota jauh dari pantai, sebagai permukiman dan adanya keraton. Terkait penggunaan arah mata angin di Yogyakarta ini berhubungan dengan teori perkotaan periodesasi Hindu-Budha di Indonesia. Yogyakarta termasuk salah satu contoh kota yang berbasis kota Hindu jawa dicirikan dengan :
- Adanya pengelompokan rumah yaitu : Bagian luar, bagian luar dalamnya rumah, dan bagian luar
- Adanya gradasi kesakralan dan pembagian ruang dari area tidak sakral (publik) menuju area sakral (privasi)
- Adanya penerapan orientasi arah uatama “mandala” yaitu arah utara dan selatan, dimaksudkan untuk penghormatan bagi “Nyi roro kidul” dan mengharap berkah keberntungan.
- Penerapan pengaruh Hindu jawa terlihat pada penataan keruangan keraton
Gambar. Garis Imajiner Yogyakarta
Dalam penyusun keruangan Keraton :
- Dalam penyusun tatanan keraton adanya kepercayaan garis imajiner laut dan gunung. Apabila ditarik dijumpai laut selatan, krapyak, alun-alun selatan, keraton utama, alun-alun utara, balai kesultanan, dan gunung
- Terlihat adanya pembagian pengsakralan daerah dimana raja tinggal dalam keraton, anggota kerajaan tinggal dalam jeron benteng atau dalam benteng, dan rakyat berada diluar jeron benteng
- Adanya pemisahan area dalam keraton dimana daerah publik seperti Sasana hinggil dan area privat adalah kediaman raja, serta keputren untuk para putra raja (pangeran)
- Orientasi bangunan keraton dan hunian dihadapkan arah utara dan selatan, dimana penghargaan terhadap laut selatan dan gunung merapi.
Pada periodesais Islam adanya nilai-nilai islam yang masuk kedalam keraton ditandai dengan adanya perubahan tatanan keraton
-
Masuknya
islam mempengaruhi tatanan di dalam keraton. Dibangunnya masjid dalam kawasan keraton.
-
Pembentukan
kauman disekitar masjid. Hal ini diawali kegiatan keagamaan yang diprakarsai
oleh tokoh agama.
-
Berubanya
orientasi dalam pengembangan kota yang sebelumnya mengarah utara-selatan dengan
mengikuti poros / as masjid.
-
Kedudukan
masjid sebagai struktur ruang terbuka kota dibatasi oleh tembok kota.